Sukses

KPK Perpanjang Penahanan Bupati Nonaktif Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak

Ali menyebut, setelah berkas penyidikan Ricky Ham Pagawak lengkap, nantinya akan diserahkan ke tim jaksa penuntut umum untuk kemudian dituangkan dalam berkas dakwaan. Berkas dakwaan akan dikirim ke Pengadilan Tipikor.

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa penahanan Bupati nonaktif Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak (RHP) dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Berdasarkan penetapan Pengadilan Tipikor pada PN Makassar, tim penyidik memperpanjang masa penahanan Tersangka RHP untuk 30 hari ke depan, terhitung 21 April 2023 hingga 20 Mei 2023 di Rutan KPK," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (18/4/2023).

Ali mengatakan, tim penyidik KPK masih membutuhkan waktu mencari bukti lanjutan dengan memeriksa berbagai saksi yang dianggap mengetahui perbuataan pidana Ricky Ham Pagawak.

Ali menyebut, setelah berkas penyidikan Ricky Ham Pagawak lengkap, nantinya akan diserahkan ke tim jaksa penuntut umum untuk kemudian dituangkan dalam berkas dakwaan. Berkas dakwaan akan dikirim ke Pengadilan Tipikor.

"Perpanjangan penahanan sebagai salah satu upaya tim penyidik untuk terus melakukan pendalaman materi unsur-unsur dugaan korupsi dari Tersangka RHP sekaligus melakukan penelurusan aset-aset yang juga diduga dari hasil korupsi," kata Ali.

Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mamberamo Tengah. Dia juga dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Ketua KPK Firli Bahuri menyebut Ricky Ham diduga sudah menikmati uang sekitar Rp200 miliar dalam kasus ini.

"Sejauh ini terkait dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang yang dinikmati RHP (Ricky Ham) sejumlah sekitar Rp200 miliar dan hal ini terus didalami dan dikembangkan oleh tim penyidik," ujar Firli dalam jumpa pers, Senin (20/2/2023).

Firli menjelaskan, Ricky yang menjabat bupati dua periode, yaitu 2013-2018 dan 2018-2023 memiliki kewenangan menentukan sendiri para kontraktor yang akan menggarap proyek dengan nilai kontrak pekerjaan yang mencapai miliaran rupiah.

Ricky pun memberikan syarat penyetoran sejumlah uang kepada para kontraktor jika ingin menggarap proyek di Pemkab Mamberamo Tengah.

Adapun beberapa kontraktor yang menggarap proyek di Pemkab Mamberamo yakni Direktur Utama PT Bina Karya Raya (BKR) Simon Pampang, Direktur PT BAP Bumi Abadi Perkasa (BAP) Jusieandra Pribadi Pampang, dan Direktur PT Solata Sukses Membangun (SSM) Marten Toding. Ketiganya sudah dijerat sebagai tersangka penyuap Ricky Ham.

Firli mengatakan, Ricky Ham bersedia memenuhi keinginan dan permintaan ketiga kontraktor dengan memerintahkan pejabat di Dinas Pekerjaan Umum untuk mengondisikan proyek-proyek yang nilai anggarannya besar diberikan khusus kepada ketiganya.

Jusieandra Pribadi Pampang diduga mendapatkan paket pekerjaan 18 paket dengan total nilai Rp217,7 miliar. Sedangkan Simon Pampang diduga mendapatkan enam paket pekerjaan dengan nilai Rp179,4 miliar. Sementara Marten Toding mendapatkan tiga paket pekerjaan dengan nilai Rp9,4 miliar.

Realisasi pemberian uang pada Ricky Ham dilakukan melalui transfer rekening bank dengan menggunakan nama-nama dari beberapa orang kepercayaan Ricky.

 

2 dari 2 halaman

Terima Gratifikasi

Selain itu, Ricky juga diduga menerima sejumlah uang sebagai gratifikasi dari beberapa pihak yang kemudian diduga juga dilakukan tindak pidana pencucian uang berupa membelanjakan, menyembunyikan, mau pun menyamarkan asal usul dari harta kekayaan yang berasal dari korupsi.

"Selama proses penyidikan, tim penyidik telah memeriksa 110 orang sebagai saksi dan juga melakukan penyitaan berbagai aset bernilai ekonomis di antaranya, berbagai bidang tanah dan bangunan serta apartemen yang berlokasi di Jayapura, Tangerang, dan Jakarta Pusat serta beberapa unit mobil mewah dengan berbagai tipe," kata Firli.

Atas perbuatannya, Ricky Ham disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 3 dan 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.